Sabtu, 22 Mei 2010

Bagaimana Bersikap Terhadap Pejabat Publik?

Posted by: "Hasan Abdurrahim" hasanabdurrahim10@gmail.com
Thu May 20, 2010 6:04 pm (PDT)


http://www.dakwatun a.com

Bagaimana Bersikap Terhadap Pejabat Publik?

Oleh: Musyaffa Ahmad Rohim, Lc
____________ _________ _________ __

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ustadz, alhamdulillah saya aktif dalam kegiatan sosial keislaman. Ada
beberapa hal yang ingin saya tanyakan berkenaan dengan para ustadz
yang menjadi pejabat publik. Sebenarnya, saya dan teman-teman aktivis
lain senang dengan fenomena ini. Tapi, ketika saya berkunjung ke rumah
beliau-beliau, ada semacam keprihatinan. Saya menangkap keprihatinan
beliau-beliau terhadap anggapan para aktivis sekitar.

Pertama, banyak orang beranggapan bahwa para pejabat publik punya
banyak uang, sehingga beliau-beliau menjadi tempat yang paling layak
untuk diajukan proposal kegiatan. Kedua, mereka tampak sungkan membeli
perabot atau kendaraan karena selalu dihubungkan dengan penghasilan
sebagai pejabat publik. Akhirnya, ada kesenjangan antara para aktivis
dengan para ustadznya.

Pertanyaan saya, bagaimana menjembatani perbedaan itu. Apanya yang
salah sehingga fenomena itu bisa terjadi. Atas jawaban Ustadz, saya
ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Muhammad, Tangerang.

Jawaban

Saudara Muhammad di Tangerang dan pengunjung dakwatuna.com di mana pun
Anda berada, assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh. Semoga Allah
swt. senantiasa memberikan taufiq, hidayah, ri’ayah, dan ‘inayah-Nya
kepada kita semua; agar kita semua tetap istiqamah dalam meniti jalan
dakwah dan terus bekerja sama di bawah syi’ar wa ta’awanu ‘ala
al-birri wa at-taqwa (saling membantu dalam kebajikan dan ketaqwaan).
Amin.

Ada dua hal yang ingin saya sampaikan terkait dengan “fenomena” yang
Anda sampaikan, yaitu: pertama, bagaimana kita bersikap jika kita
berada pada posisi pejabat publik, baik pada jajaran eksekutif,
legislatif ataupun yudikatif; kedua, bagaimana kita yang bukan pejabat
publik bersikap kepada mereka yang mengemban amanah jabatan publik.

Ada beberapa hal yang harus selalu diingat oleh para pejabat publik
(dan sebenarnya, termasuk yang bukan pejabat publik juga), di
antaranya adalah:

1. Dalam hubungannya dengan Allah swt:

a. Senantiasa menjaga keimanan dan keikhlasan. Sebab Rasulullah saw.
bersabda, “Bahwa segala sesuatu itu bergantung kepada niatnya, dan
bahwa masing-masing orang itu bergantung kepada niat yang dimilikinya,
maka barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
menuju Allah swt. dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrah karena dunia
yang ingin didapatkannya, atau wanita yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya menuju kepada apa yang ia hijrah untuknya.” (Muttafaqun
‘alaih). Terkait dengan ikhlas ini, hendaklah Anda jadikan seluruh
amal, pernyataan, dan sikap Anda dalam rangka meraih ridha Allah swt.
Bukan ridha publik, simpatisan, atau pendukung. Imam Al-Qadhi ‘Iyadh
berkata, “Siapa yang beramal karena manusia, maka ia telah berbuat
riya’; dan siapa meninggalkan amal (tidak jadi beramal) karena
manusia, maka ia telah syirik; dan ikhlas adalah manakala amal kita
terbebas dari keduanya.” Ketahuilah, duhai Saudaraku, bahwa publik,
simpatisan, dan pendukung tidak akan mampu menyelamatkan kita dari
Allah swt.

b. Senantiasa menjaga shidq (kebenaran dan kejujuran). Tidak ada
kontradiksi dan perbedaan antara yang lahir dengan yang batin, yang
tampak dan yang tersembunyi. Baik shidq dalam niat, tekad, kehendak,
berbicara atau membuat pernyataan, berbuat atau berperilaku, bersikap
dan tampil; baik shidq menurut ukuran realita (fakta), undang-undang,
dan yang paling utama adalah shidq menurut pandangan syari’at Allah
swt. Hendaklah kita ingat kisah Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu
yang Allah swt. terima taubatnya setelah ditangguhkan selama 50 hari
50 malam. Hal ini karena ia tetap konsisten dengan shidq. Ia berkata:
“Dan tidak menyelamatkan diriku kecuali shidq.”

c. Asy-Syu’ur bi muraqabatillah (merasakan pengawasan Allah swt.).
Dengan demikian, segala ucapan atau pernyataan, perbuatan atau
perilaku, sikap atau penampilan, telah kita perhitungkan dan kita
yakini bahwa pengawasan Allah swt tidak pernah luput dari kita.

d. Al-Isti’dad li al-hisab al-ukhrawi (menyiapk an diri untuk
menghadapi hisab (audit) di akhirat di hadapan mahkamah Allah swt.
Hendaklah kita mengingat kisah Abu Bakar Ash-Shidq radhiyalla hu ‘anhu
yang semenjak di dunia telah menyiapkan jawabannya (LPJ-nya) saat
ditanya Allah swt. di akhirat nanti. Alkisah bahwa sebelum meninggal
dunia Abu Bakar berwasiat agar pengganti dia sebagai khalifah adalah
Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Saat itu para sahabat nabi
yang lain bertanya, “Apa jawaban (LPJ) Anda kalau ditanya Allah swt.?”
Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Akan saya jawab, aku
pilihkan untuk umat Islam yang terbaik di antara mereka.”

2. Dalam hubungannya dengan publik (masyarakat, rakyat, dan khususnya
para pendukung dan simpatisannya) :

a. Ash-Shabru ‘ala adzâhum wa ghilzhatuhum (bersabar atas rasa sakit
yang ditimpakan oleh publik dan atas sikap kasar mereka). Kita bisa
mengingat kisah Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang oleh
sebagian rakyatnya akan diluruskan dengan pedang, jika ia menyimpang.

b. Asy-Syafafiyyah (transparansi) dan siap memberikan klarifikasi,
khususnya jika diminta. Sikap ini telah dicontohkan oleh Rasulullah
saw. dan para khulafa’ al-rasyidun. Setelah selesai Perang Hunain,
sebuah peperangan yang sangat banyak ghanimahnya, Rasulullah saw.
membagi habis semua ghanimah itu kepada kaum muslimin baru dan bahkan
kepada orang-orang yang belum masuk Islam. Sedangkan orang-orang
Muhajirin dan Anshar tidak mendapatkan bagian sama sekali. Saat itu
banyak suara-suara miring menanggapi masalah ini. Melihat hal ini,
Rasulullah saw. memberikan klarifikasinya kepada orang-orang Anshar,
sampai mereka puas atas klarifikasi yang diberikan Rasulullah saw.,
walaupun tetap tidak memberikan harta rampasan kepada mereka.

Khalifah Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga dengan lapang
dada memberikan klarifikasi tentang baju yang dipakainya saat ada
orang yang mempertanyakan hal itu. Khalifah Utsman bin ‘Affan
radhiyallahu ‘anhubahkan membuka forum dialog publik untuk
mengklarifikasi semua tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya, sampai
semua hadirin merasa puas atas jawaban Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu. Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahkan mengutus
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma untuk berdiskusi dengan
pasukan Khawarij tentang beberapa sikap politiknya, sehingga banyak di
antara orang-orang Khawarij itu yang kembali kepada Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu.

Bagaimana kita sebagai publik, khususnya pendukung dan simpatisan para
pejabat publik, bersikap?

Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik pendukun g adalah orang yang
jika pemimpinnya ingat, maka mereka menolong, dan jika pemimpinnya
lupa, maka mereka mengingatkan.”

Secara simple namun padat makna. Hal itu juga telah dijelaskan oleh
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyal lahu ‘anhudalam pidatonya pasca
pembai’atan dirinya sebagai khalifah. Ia berkata, “Bantu dan tolonglah
saya jika saya berbuat baik, dan luruskan saya jika saya berbuat
buruk…. Taatilah saya selama saya taat kepada Allah swt. dan
Rasul-Nya. Jika saya maksiat kepada-Nya, maka tidak ada kewajiban taat
atas kalian.”

Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda, “Agama adalah nasehat…
kepada Allah swt., kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada para
pemimpin (baik pejabat publik maupun para ulama), dan juga kepada
semua kaum muslimin.”

Hal ini menegaskan bahwa sebagai publik, pendukung, dan simpatisan,
kita tetap berkewajiban untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar
termasuk kepada para pemimpin. Dengan demikian, terwujudlah makna dari
firman Allah swt., “Demi masa. Sesungguhnya semua manusia berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan
yang saling berwasiat dengan kebenaran dan yang saling berwasiat
dengan kesabaran” (Q.S. Al-’Ashr).

Saudara Muhammad dan pengunjung dakwatuna.com di mana pun Anda berada,
dari jawaban saya ini mungkin Anda bisa menilai bahwa saya lebih
cenderung untuk tidak mencari mana yang salah atau apa yang salah,
namun apa yang mesti kita lakukan dan bagaimana seharusnya kita
berbuat. Dan jika hal ini sudah kita lakukan, insya Allah, suasana
saling curiga mencurigai, ewoh pakewoh (serba salah dan serba nggak
enak), akan bisa dihindari. Sehingga suasana wa ta’awanu ‘ala al-birri
wa al-taqwa bisa ditegakkan demi sukses dakwah Islamiyah. Amin.

http://www.dakwatun a.com/2008/ bagaimana- bersikap- terhadap- pejabat-publik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar